Sunday, April 8, 2007

BRUTALISME DI KAMPUS IPDN

BRUTALISME DI KAMPUS IPDN
Puas Siksa Junior, Praja Senior Nyanyi Ria
Senin, 09 April 2007, 10:03:02 WIB

Sumedang, Rakyat Merdeka. Ketika Wahyu Hidayat tewas pada 2003, banyak yang percaya dia adalah korban terakhir di IPDN. Saat itu, IPDN masih bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).

Setelah kasus kematian praja asal Jawa Barat itu, para praja semua tingkat dikumpulkan untuk mengucapkan ikrar. "Kami berjanji meninggalkan segala bentuk kekerasan…." Begitu sebagian isi ikrar para praja.

Namun, janji tinggallah janji. Ikrar pun hanyalah torehan tinta hitam di atas kertas yang bisa luntur. Cliff Muntu, praja asal Manado, juga tewas karena dianiaya para seniornya. Delapan orang praja ditetapkan sebagai tersangka dan langsung dipecat dari IPDN. Meski begitu, tetap saja muncul pertanyaan, siapa bisa menjamin Cliff Muntu adalah korban terakhir?

Wartawan Radar Bandung (Grup Jawa Pos) menelusuri kehidupan di dalam kampus IPDN. Kompleks kampus itu sangat tertutup bagi kehadiran orang luar, apalagi para wartawan. Kalaupun ada acara resmi dan mengundang media, akses media dibatasi hanya sampai ke ruang rektorat. Apalagi setelah ada kasus kematian Cliff Muntu, wartawan dilarang masuk sama sekali ke lingkungan IPDN.

Untung, ada kesempatan bagi pekerja media menginjakkan kaki ke IPDN pada Jumat (6/4) lalu. Saat itu, Sekjen Departemen Dalam Negeri Progo Nurdjaman sidak ke dalam kampus. Bersama rombongan dari Depdagri, wartawan berkesempatan melihat aktivitas praja di dalam kampus.

Tentu, secara kasat mata, tidak tampak kegiatan yang berbau kekerasan. Ada kelompok praja yang sedang berbaris rapi. Ada juga yang sedang bermain bola basket. Saat melihat rombongan Sekjen Depdagri, beberapa praja yang kebetulan berpapasan langsung memberikan hormat. Sayang, ketika rombongan memasuki barak para praja, wartawan diminta menunggu di luar.

Sejumlah wartawan memilih menunggu rombongan Sekjen Depdagri di kantin kampus. Mereka ikut nimbrung dengan sejumlah praja yang kebetulan rehat usai berolahraga. "Biasa Mas, sarapan habis olahraga," kata seorang praja tingkat dua ramah.

Namun, keramahan itu sontak berubah masam ketika wartawan menanyakan kasus kematian Cliff Muntu. "Maaf, kami sepakat tidak boleh membicarakan itu," kata praja tadi seraya pergi meninggalkan kantin.

Lukman (nama samaran), seorang mantan praja, menceritakan kultur kekerasan di IPDN. Biasanya, kekerasan dilakukan oleh praja tingkat tiga (nindya praja) kepada praja tingkat dua (madya praja). Aksi kekerasan dilakukan malam hari ketika pengawasan mulai longgar.

Beberapa praja senior mendatangi barak junior. Selalu ada alasan untuk melakukan tindak kekerasan. "Masak praja wanita yang bersalah, kami praja laki-laki menjadi sasarannya," ujar Lukman kepada Radar Bandung.

Saat memasuki barak, praja senior itu langsung memanggil beberapa praja yang menjadi targetnya. Setelah itu, mereka dibawa ke lorong dan dijajarkan dalam satu baris. Sebelum melakukan aksinya, para praja senior selalu melakukan dialog dengan praja juniornya.

"Maaf ya Dik, kita pun sama waktu dulu seperti ini, enggak apa-apa kok," tutur Lukman menceritakan kronologi kekerasan oleh praja senior. Setelah itu, terjadilah pemukulan masal. Yang dipukuli bisa lima sampai sepuluh orang. Yang memukul bisa 20 orang.

Dosen IPDN Inu Kencana Syafii mengakui hal tersebut. "Biasanya, mereka melakukan eksekusi pada jam sembilan malam hingga tengah malam," jelas Inu.

Bila mereka tidak puas, "tradisi" pun berlanjut hingga subuh. Terkadang drama tengah malam itu berjalan dengan canda tawa para seniornya. Di sisi lain, para junior mengerang kesakitan.

Canda tawa juga menjadi tradisi mengakhiri drama tengah malam itu. "Mereka seolah biasa menghadapi seperti itu. Terkadang, setelah melakukan itu, mereka bernyanyi bersama," ungkap Inu. Suasana pun kemudian mencair, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Dulu sebelum tragedi Wahyu Hidayat terkuak, aksi pemukulan selalu dilakukan per kontingen. Namun, setelah berubah menjadi IPDN, aksi kekerasan dilakukan per organisasi. Contohnya kasus Cliff Muntu. Dia dianiaya oleh seniornya yang merupakan anggota Pataka.

Namun, para praja sepertinya dibuat terbiasa dengan kondisi seperti itu. Bahkan, saat kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke IPDN di atas meja salah satu kamar barak DKI ada sebuah tulisan besar dengan spidol warna hitam: "Ingat....! Malam Ini Kau Mati....! Siapkan Fisik dan Mental".

Begitu isi tulisan bernada ancaman tersebut. Sayang, tulisan itu tidak terlihat oleh orang nomor dua di Indonesia tersebut. Karena ada tulisan seperti itu, praja junior harus sigap setiap saat. "Kondisi seperti itu bisa diubah asalkan kultur dan kebiasaan praja diubah," kata Inu.

Tak hanya itu, kebiasaan para pejabat kampus pun harus diubah. Inu mengungkapkan banyaknya pejabat kampus yang bersedia menutupi sebuah kasus asalkan mendapatkan imbalan.

"Bila sesuatu terjadi pada praja, mereka (pejabat di IPDN, Red) selalu meminta uang kepada orang tua mereka. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan kasusnya," ungkap Inu.

Nilainya, kata dia, bisa mencapai Rp 200 juta. Dana tersebut kemudian dibagikan kepada pejabat lain agar tutup mulut.

Inu yang gencar membongkar kebobrokan di IPDN mengaku tidak takut mati karena sikapnya itu. "Memang banyak yang mengancam saya," paparnya.

Inu menceritakan saat kasus Wahyu Hidayat mencuat. Dia sering mendapat teror dari orang kampus. Bahkan, para praja membenci dirinya. Banyak pesan singkat yang masuk ke hand phone pribadinya yang menyatakan keberatan atas semua pernyataan Inu di media.

Teror hingga tengah malam pun dia rasakan. Tidak jarang isi pesan singkatnya bernada kasar. "Bapak mau saya bunuh seperti saya membunuh murid Bapak," kata Inu menceritakan sisi sms. Namun, semua teror itu dia hadapi dengan lapang dada.

Karena berbagai ancaman itu, Inu kini dikawal khusus oleh polisi. Hampir 24 jam, Inu dan keluarganya diawasi. "Yang penting saya jujur mengungkapkan fakta yang terjadi dan tidak merekayasa," jelasnya. jpnn

No comments: