Senin, 19 Februari 2007 |
Gus Dur : Adang Bayar PKS |
* Rp 11 M Untuk jadi Cagub DKI Jakarta Jakarta, Tribun - Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur kembali melempar wacana kontroversial. Kali ini yang kena getahnya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tiba-tiba saja Gus Dur menuding PKS telah menerima uang Rp 11 miliar dari Mantan Wakil Kepala Polri Komjen Pol Adang Doradjatun untuk menjadi bakal calon gubernur (Cagub) DKI Jakarta dari PKS. |
Tudingan pendiri PKB yang suka ceplas-ceplos ini terjadi saat berlangsung dialog peserta pengajian dengan Gus Dur di Komplek Ponpes Al Munawaroh, Ciganjur, Jakarta Selatan, Minggu (18/2). Ihwal pernyataan Gus Dur mengemuka tatkala ditanya seorang peserta pengajian yang mempersoalkan cara kerja kader PKB yang tidak seperti kader PKS terjun langsung ke masyarakat korban banjir memberi bantuan saat terjadi bencara seperti banjir di Jakarta beberapa waktu lalu. Gus Dur bukannya menjawab pertanyaan tersebut. Cucu Hasyim A'syari ini malah memberikan jawaban yang mengagetkan. "PKS dikatakan begini begitu itu semua bohong. Adang Daradjatun calon tunggal, tapi kata Tifatul itu belum tentu. Karena Adang punya Rp 14 miliar. Baru Rp 11 miliar yang diminta PKS," kata Gus Dur. http://www.kejaksaan.go.id/detail_news.php?ID=2007-02-19%2012:23:54 |
Friday, April 27, 2007
Duit Korupsi Buat Beli Tiket Di PKS,Ehh Partai PKS Heehh Terima Dengan Gembira
Tikus "Masuk Ke Partai Keadilan Sejahtera "
Veronika Kusuma Wijayanti - detikcom
Jakarta - Para pegawai maupun wartawan yang biasa ngepos di Mabes Polri terpaksa berjalan memutar untuk memasuki markas polisi itu. Penyebabnya, gerbang utama yang biasa digunakan untuk pegawai Mabes Polri atau pun wartawan yang berjalan kaki, rusak.
Mabes Polri sejatinya memiliki sejumlah pintu gerbang. Ada pintu gerbang khusus untuk kendaraan Kapolri. Ada gerbang untuk kendaraan polisi-polisi lainnya. Gerbang satunya untuk pejalan kaki dari kalangan pegawai Mabes Polri. Dan gerbang satunya -- terletak di bagian belakang kompleks Mabes Polri -- diperuntukkan untuk masyarakat umum.
Biasanya, wartawan masuk Mabes lewat pintu yang diperuntukkan bagi pegawai Mabes Polri yang berjalan kaki. Khusus untuk pegawai, mereka bisa masuk setelah mendekatkan kartu pegawai mereka pada alat sensor berwarna merah. Jika sensor oke, maka pintu akan terbuka.Pegawai itu pun lenggang kangkung masuk ke kantornya.
Wartawan tentu saja tidak memiliki kartu pegawai yang ramah sensor itu. Wartawan biasanya meminta kepada petugas yang berjaga agar membukakannya dengan kartu yang dimiliki petugas itu. Wartawan suka lewat pintu itu karena kebetulan dekat dengan Gedung Bakeskrim yang ramai berita.
Tapi Rabu (2/11/2005) pintu gerbang favorit itu digembok dengan rantai. Wartawan terpaksa harus lewat pintu belakang, berjalan mengitari Mabes Polri. Jaraknya cukup jauh. Pokoknya keringatan.
Mengapa pintu itu digembok? Jawabnya, sensornya rusak. "Kabelnya digerogoti tikus," kata seorang petugas yang berjaga.
Selidik punya selidik, tikus itu adalah 'kenang-kenangan' Aliansi Tolak Korupsi (ATK) yang beraksi pada Senin lalu di Mabes Polri. ATK adalah kumpulan 10 mahasiswa. Pendemo membawa 15 tikus yang dimasukkan kandang warna putih.
Kandang itu ditempeli belasan nama petinggi Mabes Polri yang diduga melakukan praktek korupsi. Mereka adalah Saleh Saaf, Firman Gani, Budi G, Edi Garnadi, Dedy SK, Iwan Panji, Cuk Sugiarto, Makbul Padmanegara, Adang Dorojatun, Suyitno Landung, Heru S, dan Matheus Salempang.
Nah, dalam aksinya, tikus-tikus 'korupsi' itu dilemparkan ke Mabes Polri. Cit cit cit...hewan pengerat itu berlarian ke penjuru arah. Dampaknya baru bisa terasa hari ini: kabel pintu bersensor dimakannya.
"Kami dulu nggak sempat mengusir tikus-tikus itu. Soalnya sudah keburu lari ke lubang-lubang," kata petugas Mabes Polri pada detikcom.
Dari semua gerbang pintu bersensor, hanya pintu itu saja yang jadi korban tikus-tikus nakal. Belum diketahui kapan gerbang itu akan beroperasi normal kembali.(nrl/)
------------------
http://jkt.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/11/tgl/02/time/151027/idnews/473688/idkanal/10
Di Mabes Polri Dilempari Tikus, Siap Menjadi Cagub DKI Jakarta , Relakah anda
Veronika Kusuma Wijayanti - detikcom
Jakarta - Tikus. Hewan yang kerap menjadi simbol korupsi ini dilemparkan mahasiswa ke Mabes Polri. 15 Tikus warna putih yang diberi nama ini pun menyerbu kantor Kapolri Jenderal Pol Sutanto.
Belasan tikus dilemparkan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Tolak Korupsi saat unjuk rasa di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Senin (31/10/2005).
Aksi ini diikuti 10 mahasiswa dari Universitas Jayabaya, Universitas Indonesia, Universitas Mercu Buana, IISIP, Universitas Satya Negara Indonesia, Universitas Jayakarta, dan Universitas Moestopo.
Mahasiswa terlihat menenteng kandang tikus warna putih yang ditempeli belasan nama petinggi Mabes Polri yang diduga melakukan praktek korupsi.
Mereka adalah Saleh Saaf, Firman Gani, Budi G, Edi Garnadi, Dedy SK, Iwan Panji, Cuk Sugiarto, Makbul Padmanegara, Adang Dorojatun, Suyitno Landung, Heru S, dan Matheus Salempang.
Kandang tikus pun dibuka. Satu per satu hewan pengerat itu dilemparkan ke dalam Gedung Mabes Polri. Buk, buk, buk, tikus pun dilemparkan. "Usut Korupsi di Polri. Ini simbol koruptor," teriak mahasiswa kompak.
Cit, cit, cit, tikus pun melenggang kangkung memasuki halaman Mabes Polri. Meski demikian, puluhan polisi yang menjaga aksi tidak bereaksi. Aparat tetap siaga dan tidak mengusir tikus-tikus itu.
Mahasiswa juga membentangkan poster bergambar foto Saleh Saaf, Firman Gani, Suyitno Landung, mantan Kapolri Jenderal Pol Da'i Bachtiar, dan Makbul Padmanegara. Lima poster itu diletakkan di aspal jalan dan dua tikus pun dibiarkan beraksi di atasnya.
"Kami menuntut Mabes Polri mengusut tuntas, menangkap, dan mengadili petinggi Polri yang terlibat korupsi," kata salah seorang orator.
Mahasiwa kemudian melanjutkan aksi ke Gedung KPK di Jalan Veteran, Jakarta. Rencananya, mahasiswa akan membakar foto petinggi Polri di KPK nanti.(aan/)
---------------------
http://jkt.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2005/bulan/10/tgl/31/time/153410/idnews/472463/idkanal/10
Thursday, April 26, 2007
Adang adalah super koruptor
Namun, Edi salah satu ketua KPK belum bisa memastikan apakah sidang kasus ini akan di gelar terkait Pilkada Jakarta agustus mendatang.
ini mungkin akan di undur atau di majukan itu tergantung bukti dan pelangggran yang di lakukan Adang Darajatun, kami juga akan melakukan pemeriksaan terhadap Bisnis Istri Bapak Adang kemungkinan akan terkait dengan hal ini . dengan bisnis di bidang Komunikasi , bisa jadi semua terkait.
Indonews.com
Wednesday, April 25, 2007
Partai Keadilan Sejahtera Terima 300 Juta Rupiah
Dijelaskan dia, UU 31 tahun 2002 tentang sumber keuangan parpol menyebutkan parpol dinilai sah menurut hukum jika mendapat dana dari iuran anggota, sumbangan, dan bantuan dari anggaran negara yang diakui sah secara hukum.
Batasan sumbangan yang sah maksimumnya untuk individu Rp 200 juta. Sedangkan untuk badan hukum Rp 800 juta dan untuk jangka waktu 1 tahun.
"Dalam pengadilan, Rokhmin mengaku mengalirkan dana dari kantongnya dan artinya dia melanggar UU itu," kata Fahmi.
Fahmi menyayangkan UU KPK saat ini hanya tertuju untuk menjerat individu. Parpol atau badan usaha yang terbukti menerima dana DKP tidak bisa disentuh oleh UU KPK.
ICW juga menyesalkan sikap DPR yang tidak menindaklajuti temuan KPK dan meminta kasus DKP diusut tuntas. (aan/nrl)
---------------------------------------
http://www.detiknews.com/indexfr.php?url=http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/25/time/182501/idnews/772670/idkanal/10
PKS dan Mega Center Terima DKP Rp300 Juta
Rabu, 25/04/2007 16:13 WIB | ||
PKS dan Mega Center Terima DKP Rp300 Juta |
Muhammad Hasist - Okezone | |
JAKARTA – Dalam temuan Indonesian Corruption Watch (ICW), PKS dan Mega Center telah menerima dana nonbudjeter Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) masing-masing sebesar Rp300 juta. “Dari data yang didapat ICW, dana DKP yang masuk ke PKS dan Mega Center sebesar Rp300 juta,” jelas Wakil Kordinator ICW Danang Widyoko di kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV, Jakarta, Rabu (25/4/2007). Lebih lanjut Danang mengatakan, sumbangan dana DKP lainnya diterima mantan Ketua MPR Amien Rais, saat dia menjadi capres, dan tim sukses SBY-Kalla, masing-masing sebesar Rp225 juta. Atas temuan ini, ICW mendesak KPK menyelidiki dana yang masuk ke parpol, politisi dan tim sukses agar diusut secara tuntas. “KPK dapat menggunakan UU Parpol dan UU Pemilu sebagai dasar pengusutan kasus ini,” cetus Danang. Penerimaan sumbangan dari dana nonbudjeter DKP ini, lanjut Danang telah melanggar pasal 17 UU 31 tahun 2002 tentang sumber keuangan parpol. Selain itu, hal ini melanggar ketentuan sumbangan yang diatur maksimal sebesar Rp100 juta. Akibatnya, dapat dijerat kurungan minimum empat bulan dan maksimun 24 bulan, atau denda paling sedikit Rp200 juta atau paling banyak Rp1 miliar. Sedangkan untuk pasangan calon presiden yang terbukti terima tersebut, melanggar pasal 79 UU Pilpres. Mengenai tidak sinkronnya data mengalirnya dana dari Rokhmin ke parpol, politisi dan tim sukses, Danang mengatakan ini mengindikasikan masih banyak dana-dana yang tidak tercatat dan masuk secara illegal ke kas parpol dan tim sukses tersebut. Penerimaan sumbangan dana DKP ini, lanjut Danang, harus dapat klarifikasi dari parpol dan tim sukses yang bersangkutan, mengingat mengalirnya dana ini berimplikasi pada proses hukum yang dijalani Rokhmin. (uky) ----------------------------------- Sumber : http://www.okezone.com/index.php?option=com_content&task=view&id=15801&Itemid=67 |
Monday, April 9, 2007
Daftar para pejabat tinggi yang Paling Korup
Berikut ialah daftar para pejabat tinggi Indonesia yang pernah ditahan atau Masih Dalam pengusutan karena kasus kriminal atau korupsi. Untuk pejabat yang ditahan karena kasus politik, lihat Daftar Pejabat Indonesia Yang Dipenjara Kasus Politik.
- Abdullah Puteh, mantan Gubernur Aceh
- Abilio Soares, mantan Gubernur Timor Timur, karena dakwaan 'Dunia Internasional'
- Akbar Tandjung
- Basuki (politikus), mantan ketua DPRD Surabaya
- Beddu Amang, mantan Kepala Bulog
- Bob Hasan, mantan Menteri Perindustria dan Perdagangan
- Hendro Budiyanto, mantan direktur Bank Indonesia
- Heru Supraptomo, mantan direktur Bank Indonesia
- Hutomo Mandala Putra Soeharto, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat
- Ida Bagus Oka, mantan Gubernur Bali dan Menteri Sosial
- M. Sahid, wakil walikota Bogor
- Mulyana W. Kusumah, anggota KPU
- Nazaruddin Sjamsuddin, ketua KPU
- Nurdin Halid, ketua PSSI
- Paul Sutopo, mantan direktur Bank Indonesia
- Rahardi Ramelan, mantan Menteri Perdagangan
- Rusadi Kantaprawira, anggota KPU
- Safder Yusacc, mantan sekjen KPU
- Said Agil Husin Al Munawar, mantan Menteri Agama
- Sri Roso Sudarmo, bupati Bantul
- Suyitno Landung, mantan kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri
- Syafruddin Temenggung, mantan kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Menjadi tersangka kasus jual beli pabrik gula Rajawali III, dan ditahan pada 22 Februari 2006.
- Syahril Sabirin, mantan Gubernur Bank Indonesia
- Adang Darajatun Korupsi, mantan Wakil Polri Kasus Markup Dana Jarkom Polisi
- Winajarko , Kasus Bulog
Pada 17 Oktober 2006
Pada 17 Oktober 2006, Kejaksaan Agung Republik Indonesia mulai menayangkan foto dan menyebarkan data para buronan tindak pidana korupsi yang putusan perkaranya telah berkekuatan hukum tetap. Data dan foto 14 belas koruptor tersebut direncanakan ditayangkan di televisi dan media massa dengan frekuensi seminggu sekali.
Mereka adalah:
- Sudjiono Timan - Dirut PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI)
- Eko Edi Putranto - Direksi Bank Harapan Sentosa (BHS)
- Samadikun Hartono - Presdir Bank Modern
- Lesmana Basuki - Kasus BLBI
- Sherny Kojongian - Direksi BHS
- Hendro Bambang Sumantri - Kasus BLBI
- Eddy Djunaedi - Kasus BLBI
- Ede Utoyo - Kasus BLBI
- Toni Suherman - Kasus BLBI
- Bambang Sutrisno - Wadirut Bank Surya
- Andrian Kiki Ariawan - Direksi Bank Surya
- Harry Mattalata alias Hariram Ramchmand Melwani - Kasus BLBI
- Nader Taher - Dirut PT Siak Zamrud Pusako
- Dharmono K Lawi - Kasus BLBI
Sunday, April 8, 2007
Sang Vokalis Dari IPDN " HANCURKAN MILITERISME "
Nurul Hidayati - detikcom
Jakarta - Di Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) ada praja tewas, di situ pula Inu Kencana Syafei (55) buka suara. Jika tak ada Inu, tentu borok IPDN selalu tertutup rapi.
Inu-lah yang paling berani dan paling rajin membongkar aib kampus tempatnya bekerja, mulai Wahyu Hidayat (2003) hingga Cliff Muntu (2007). Tapi keberanian Inu harus dibayar mahal, dia dihukum tak boleh mengajar selama tim investigasi kematian Cliff Muntu memeriksanya.
Orang pertama yang berani mengungkap dugaan kekerasan yang menimpa Cliff pada Selasa 3 April lalu, adalah Inu. Kala itu, pejabat IPDN dan dokter RS Al Islam Bandung 'lebih suka' menyebut kematian praja asal Manado itu akibat lever yang dideritanya.
Saat menunggu otopsi Cliff di RS Hasan Sadikin Bandung pada 3 April, Inu sudah mengungkapkan kecurigaan bahwa kematian Cliff tidak wajar. Apalagi ketika malam tewasnya Cliff, nyaris terjadi kerusuhan antara praja tingkat III (nindya praja) dan rekan-rekan seangkatan Cliff (tingkat II/madya praja).
Keberanian Inu diakui oleh praja IPDN yang tak berani mengumbar kesaksian secara terbuka. Praja yang ingin membuka insiden menjelang kematian Cliff, bergantung pada Inu. Praja tersebut mengirimkan SMS pada Inu tentang kekerasan saat pelatihan pataka yang diikuti Cliff pada 2 April malam.
Kekerasan yang terjadi di IPDN memang menjadi keprihatinan Inu Kencana. Bahkan disertasi doktornya yang akan disidangkan di Universitas Padjajaran pun berkisah tentang kekerasan di kampus yang sebelumnya bernama STPDN itu. Pada 3 April pula, Inu membeberkan sebagian risetnya itu.
Dalam disertasi berjudul "Pengawasan Kinerja STPDN Terhadap Sikap Masyarakat Kabupaten Sumedang" tersebut, Inu menemukan, sejak 1990-an hingga 2005, terdapat 35 praja yang tewas dan hanya 10 di antaranya yang terungkap. Dia juga mengungkap praktek free sex di kampus pencetak aparat pemerintahan itu.
Keberanian lulusan Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Kampus Jayapura tahun 1978 itu bukan tanpa risiko. Dia 'dikejar-kejar' 900 praja perempuan yang keberatan dengan kenekatannya melansir budaya free sex di kampus Jatinangor pada Sabtu lalu.
Bahkan, atasannya di IPDN mengganjar Inu dengan sanksi larangan mengajar sementara. Sedangkan pejabat di Depdagri Jakarta mengancamnya dengan sanksi disiplin PNS. "Hukuman itu lucu," katanya saat dikonfirmasi detikcom, Senin (9/4/2007).
Menurutnya, yang harus diberi sanksi adalah mereka yang berbohong tentang kematian Cliff. Misalnya yang menyuntikkan zat formalin ke jenazah Cliff untuk mengaburkan pemeriksaan, maupun yang bersikeras menyebut kematian Cliff adalah akibat lever.
Selain dikenal sebagai 'vokalis' dari IPDN, Inu juga rajin menulis buku. Puluhan buku dan artikel telah ditelorkannya. Mulai Pengantar Ilmu Pemerintah, Pengantar Filsafat, Ilmu Administrasi Publik hingga Alqur'an dan Ilmu Politik.
Peraih gelar master dari Universitas Gadjah Mada ini berjanji akan membongkar praktek nyeleneh di tempatnya mendulang rezeki sampai kapan pun juga.(nrl/umi)
BRUTALISME DI KAMPUS IPDN
Puas Siksa Junior, Praja Senior Nyanyi Ria
Senin, 09 April 2007, 10:03:02 WIB
Sumedang, Rakyat Merdeka. Ketika Wahyu Hidayat tewas pada 2003, banyak yang percaya dia adalah korban terakhir di IPDN. Saat itu, IPDN masih bernama Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).
Setelah kasus kematian praja asal Jawa Barat itu, para praja semua tingkat dikumpulkan untuk mengucapkan ikrar. "Kami berjanji meninggalkan segala bentuk kekerasan…." Begitu sebagian isi ikrar para praja.
Namun, janji tinggallah janji. Ikrar pun hanyalah torehan tinta hitam di atas kertas yang bisa luntur. Cliff Muntu, praja asal Manado, juga tewas karena dianiaya para seniornya. Delapan orang praja ditetapkan sebagai tersangka dan langsung dipecat dari IPDN. Meski begitu, tetap saja muncul pertanyaan, siapa bisa menjamin Cliff Muntu adalah korban terakhir?
Wartawan Radar Bandung (Grup Jawa Pos) menelusuri kehidupan di dalam kampus IPDN. Kompleks kampus itu sangat tertutup bagi kehadiran orang luar, apalagi para wartawan. Kalaupun ada acara resmi dan mengundang media, akses media dibatasi hanya sampai ke ruang rektorat. Apalagi setelah ada kasus kematian Cliff Muntu, wartawan dilarang masuk sama sekali ke lingkungan IPDN.
Untung, ada kesempatan bagi pekerja media menginjakkan kaki ke IPDN pada Jumat (6/4) lalu. Saat itu, Sekjen Departemen Dalam Negeri Progo Nurdjaman sidak ke dalam kampus. Bersama rombongan dari Depdagri, wartawan berkesempatan melihat aktivitas praja di dalam kampus.
Tentu, secara kasat mata, tidak tampak kegiatan yang berbau kekerasan. Ada kelompok praja yang sedang berbaris rapi. Ada juga yang sedang bermain bola basket. Saat melihat rombongan Sekjen Depdagri, beberapa praja yang kebetulan berpapasan langsung memberikan hormat. Sayang, ketika rombongan memasuki barak para praja, wartawan diminta menunggu di luar.
Sejumlah wartawan memilih menunggu rombongan Sekjen Depdagri di kantin kampus. Mereka ikut nimbrung dengan sejumlah praja yang kebetulan rehat usai berolahraga. "Biasa Mas, sarapan habis olahraga," kata seorang praja tingkat dua ramah.
Namun, keramahan itu sontak berubah masam ketika wartawan menanyakan kasus kematian Cliff Muntu. "Maaf, kami sepakat tidak boleh membicarakan itu," kata praja tadi seraya pergi meninggalkan kantin.
Lukman (nama samaran), seorang mantan praja, menceritakan kultur kekerasan di IPDN. Biasanya, kekerasan dilakukan oleh praja tingkat tiga (nindya praja) kepada praja tingkat dua (madya praja). Aksi kekerasan dilakukan malam hari ketika pengawasan mulai longgar.
Beberapa praja senior mendatangi barak junior. Selalu ada alasan untuk melakukan tindak kekerasan. "Masak praja wanita yang bersalah, kami praja laki-laki menjadi sasarannya," ujar Lukman kepada Radar Bandung.
Saat memasuki barak, praja senior itu langsung memanggil beberapa praja yang menjadi targetnya. Setelah itu, mereka dibawa ke lorong dan dijajarkan dalam satu baris. Sebelum melakukan aksinya, para praja senior selalu melakukan dialog dengan praja juniornya.
"Maaf ya Dik, kita pun sama waktu dulu seperti ini, enggak apa-apa kok," tutur Lukman menceritakan kronologi kekerasan oleh praja senior. Setelah itu, terjadilah pemukulan masal. Yang dipukuli bisa lima sampai sepuluh orang. Yang memukul bisa 20 orang.
Dosen IPDN Inu Kencana Syafii mengakui hal tersebut. "Biasanya, mereka melakukan eksekusi pada jam sembilan malam hingga tengah malam," jelas Inu.
Bila mereka tidak puas, "tradisi" pun berlanjut hingga subuh. Terkadang drama tengah malam itu berjalan dengan canda tawa para seniornya. Di sisi lain, para junior mengerang kesakitan.
Canda tawa juga menjadi tradisi mengakhiri drama tengah malam itu. "Mereka seolah biasa menghadapi seperti itu. Terkadang, setelah melakukan itu, mereka bernyanyi bersama," ungkap Inu. Suasana pun kemudian mencair, seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Dulu sebelum tragedi Wahyu Hidayat terkuak, aksi pemukulan selalu dilakukan per kontingen. Namun, setelah berubah menjadi IPDN, aksi kekerasan dilakukan per organisasi. Contohnya kasus Cliff Muntu. Dia dianiaya oleh seniornya yang merupakan anggota Pataka.
Namun, para praja sepertinya dibuat terbiasa dengan kondisi seperti itu. Bahkan, saat kunjungan Wapres Jusuf Kalla ke IPDN di atas meja salah satu kamar barak DKI ada sebuah tulisan besar dengan spidol warna hitam: "Ingat....! Malam Ini Kau Mati....! Siapkan Fisik dan Mental".
Begitu isi tulisan bernada ancaman tersebut. Sayang, tulisan itu tidak terlihat oleh orang nomor dua di Indonesia tersebut. Karena ada tulisan seperti itu, praja junior harus sigap setiap saat. "Kondisi seperti itu bisa diubah asalkan kultur dan kebiasaan praja diubah," kata Inu.
Tak hanya itu, kebiasaan para pejabat kampus pun harus diubah. Inu mengungkapkan banyaknya pejabat kampus yang bersedia menutupi sebuah kasus asalkan mendapatkan imbalan.
"Bila sesuatu terjadi pada praja, mereka (pejabat di IPDN, Red) selalu meminta uang kepada orang tua mereka. Jumlahnya bervariasi sesuai dengan kasusnya," ungkap Inu.
Nilainya, kata dia, bisa mencapai Rp 200 juta. Dana tersebut kemudian dibagikan kepada pejabat lain agar tutup mulut.
Inu yang gencar membongkar kebobrokan di IPDN mengaku tidak takut mati karena sikapnya itu. "Memang banyak yang mengancam saya," paparnya.
Inu menceritakan saat kasus Wahyu Hidayat mencuat. Dia sering mendapat teror dari orang kampus. Bahkan, para praja membenci dirinya. Banyak pesan singkat yang masuk ke hand phone pribadinya yang menyatakan keberatan atas semua pernyataan Inu di media.
Teror hingga tengah malam pun dia rasakan. Tidak jarang isi pesan singkatnya bernada kasar. "Bapak mau saya bunuh seperti saya membunuh murid Bapak," kata Inu menceritakan sisi sms. Namun, semua teror itu dia hadapi dengan lapang dada.
Karena berbagai ancaman itu, Inu kini dikawal khusus oleh polisi. Hampir 24 jam, Inu dan keluarganya diawasi. "Yang penting saya jujur mengungkapkan fakta yang terjadi dan tidak merekayasa," jelasnya. jpnn
Wednesday, April 4, 2007
Widjanarko Alirkan Dana Korupsi untuk Biaya Sekolah Anaknya
Rabu, 04 April 2007, 18:40:31 WIB
Laporan: Febrianto
Jakarta, Rakyat Merdeka. Setelah delapan jam diperiksa aparat penyidik Kejaksaan Agung sebagai saksi, di gedung bundar Kejaksaan Agung, dua orang keluarga bekas Dirut Perum Bulog, Widjanarko Puspoyo langsung bergegas keluar ruang pemeriksaan pada pukul 18.05 WIB malam ini (Rabu, 4/4).
Sebelum menaiki mobil Kijang Avanza warna hitam berplat nomor B 1558 DG, putra sulung tersangka korupsi Bulog, Rinaldi Puspoyo langsung diserbu wartawan dan dihujani pertanyaan.
Menjawab pertanyaan wartawan, Bonaran Situmeang pengacara Rinaldi mengatakan, bahwa putra sulung Widjanarko Puspoyo itu mendapat 33 pertanyaan, dan semua pertanyaan itu dijawab Rinaldi.
Saat ditanya mengenai lairan dana yang diterima Rinaldi, Bonaran mengatakan bahwa Widjanorko memberikan aliran dana itu untuk biaya sekolah Rinaldi, sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah di luar negeri.
“Ya layaknya orang tua memberikan uang kepada anaknya, untuk biaya sekolah dari SMA hingga kuliah di Amerika,” ujar Bonaran.
Namun pengacara itu tidak menyebutkan berapa jumlah uang yang dialirkan ke rekening Rinaldi dari ayahnya, yang kini telah ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus pengadaan sapi impor fiktif. “Tanya saja ke orang Kejaksaan, saya lupa,” jawabnya singkat sambil bergegas menuju mobil yang membawanya keluar Kejaksaan Agung.
Sedangkan Adik bekas Dirut Perum Bulog, Widjakongko Puspoyo yang keluar berbarengan dengan Rinaldi Puspoyo tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Widjakongko hanya diam sambil berjalan di balik badan pengacara yang mendampinginya selama pemeriksaan aparat penyidik Kejaksaan Agung, dan bergegas menaiki mobil Kijang warna hitam bernomor plat B 8476 WD, meniggalkan gedung bundar Kejaksaan Agung. atm
Tuesday, April 3, 2007
BUKAN BANI ISRAEL TAPI BANI KORUPSI
Adik & Anak Widjanarko Diperiksa, Jadi Tersangka?
Rabu, 04 April 2007, 10:23:23 WIB
Laporan: Febrianto
Jakarta, Rakyat Merdeka. Keluarga Puspoyo Rabu pagi ini (4/4) datang memenuhi panggilan jaksa penyidik Gedung Bundar Kejaksaan Agung untuk dimintai keterangan soal dugaan korupsi yang dilakukan bekas Dirut Perum Bulog Widjanarko Puspoyo.
Widjojongko Puspoyo yang merupakan adik kandung Widjanarko serta Renaldi Puspoyo –anak kandungnya—baru saja datang pukul 10.05 WIB dengan didampingi tim pengacara, diantaranya adalah Bahari Gultom
Saat Widjojongko dan Renaldi turun dari Kijang Inova hitam, wartawan serta kamerawan langsung meringsek. Saat mereka berebutan minta komentar maupun pengambilan gambar, terjadi desak-desakan hebat. Akibatnya, sebuah pot besar di pinggir pintu masuk Gedung Bundar pun hancur berkeping-keping.
Keluarga Puspoyo tersebut diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi beras impor asal Vietnam pada kurun waktu 2001-2003 yang menyeret Widjanarko sebagai Kabulog saat itu.
Widjojongko datang mengenakan kemeja putih lengan panjang dipadu dengan dasi merah marun. Sementara, Renaldi tampak begitu santai dengan mengenakan kemeja lengan panjang putih, pakai tutup kepala (kupluk) hitam serta melenggang sambil mendengarkan MP3 dari pemutar IPOD. Mereka buru-buru digiring ke lantai tiga.
Benarkah Widjojongko dan Renaldi juga akan ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi tersebut? Sejauh ini belum ada keterangan dari pihak Gedung Bundar.
Kemarin, dua orang tersebut mangkir dari panggilan jaksa dengan alasan belum lengkap berkas yang akan dibawa kepada penyidik. Rencananya, penyidik yang diketuai Sugianto juga akan melanjutkan pemeriksaan dengan memanggil keluarga Widjanarko yang lain, yaitu Winda Puspoyo (putri bungsu) dan Andre (menantu) pada Kamis besok (5/4). Adapun istri Widjanarko, Endang Puspoyo akan diperiksa pada 9 April mendatang. iga